Jumat, 19 Oktober 2012

lelaki tanpa cinta


Aku tak tahu. Sudah berapa gadis yang menolak cintaku. Seperti langit hitam malam ini. Tanpa bintang. Tanpa bulan. Demikianlah aku. Tanpa cinta.
Bukan ku tak berusaha keras. Sudah banyak coklat yang kubeli. Banyak buku romantis yang ku baca dan ku jadikan kado. Sayap-sayap patah Kahlil Gibran adalah buku kesukaanku. Banyak bunga yang kuberi. Semua itu tak mampu meluluhkan hati setiap gadis yang ku puja. Aku adalah lelaki normal yang butuh perhatian dari lawan jenis.
Namun ku tak juga mendapatkannya. Hingga ku lulus kuliah. Tetap saja sendiri. Melangkah meninggalkan jejak masa lalu tanpa pendamping. Ketika ku wisuda,tak ada seorang gadis yang mendampingi dan mengucapkan selamat. Tak ada yang spesial dalam hidupku. Seperti malam tak berbintang.
Dan kini, ada seorang gadis yang begitu memikat hatiku. Dia ku kenal sebulan yang lalu. Dia teman kerjaku di sebuah perusahaan swasta. Tutur katanya sopan dan lembut. Sikapnya baik dan ramah. Parasnya ayu. Di kantor, aku sering ngobrol dengannya tentang pekerjaan dan lain sebagainya. Dia mungkin lebih menempatkanku sebagai sahabat dan teman satu kantor. Tidak lebih. Tapi aku punya perasaan lain. Aku ingin menjadi penjaga hatinya.
Dan aku pun mulai memberi perhatian- perhatian yang lebih. Dan sejak itu, dia berubah. Menjauhiku. Langit yang tadinya berbintang,menjadi hitam tertutup awan. Sampai tiba saatnya, dia menikah dengan pria lain, yang dicintainya.
Aku tak putus asa. Tetap ku jalani hidup ini. Tetap ku tulis seribu puisi. Sebagai pengobat sepi. Umurku baru dua puluh empat. Jalan masih jauh. Aku harus tetap melangkah. Menjalani kehidupan. Mengambil satu peranan.
Sebagai pelarian,ku alihkan perhatianku untuk menulis. Apa saja kutulis. Puisi, cerpen, artikel. Meski tidak kupublikasikan. Ku tetap menulis. Dengan menulis,sgala yang mengendap dalam hati terasa ada penyalurannya. Seperti sebuah sungai yang jernih. Tempatku membuang limbah yang mengendap di hatiku. Ku ingin berenang menyusuri likunya. Menikmati kesegaran airnya.
Aku mungkin tak sehebat Kahlil Gibran. Tapi nasibku mirip dengannya. Pernah merasakan bagaimana ditolak cintanya oleh seorang gadis. Ku terus menulis. Entah berapa karya yang sudah ku buat. Tak terhitung. Puisi,cerpen,novel dan artikel.
Aku pernah membuat sebuah cerpen yang berjudul lelaki tanpa cinta. Tapi aku bingung bagaimana cara mengakhiri cerpen itu. Lelaki tanpa cinta, sepertinya sebuah cerita yang datar. Cerpen itu belum sempat ku selesaikan.
Meski aku kesulitan mencari pasangan hidup,tapi aku tak mau mengikuti kontak jodoh di koran dan semacamnya. Aku masih yakin mampu mencarinya tanpa hal-hal seperti itu. Aku lebih suka perkenalan yang alami,tanpa dibuat-buat. Aku lebih suka bintang di langit daripada bintang tiruan. Biarlah orang memanggilku bujang lapuk dan semacamya. Aku tak terlalu peduli. Karena aku toh sudah berusaha, walaupun belum mendapatkan hasilnya.
Ada banyak teman dan saudara yang memperkenalkanku pada seorang gadis. Tapi tetap saja belum ada yang membuahkan hasil. Meskipun demikian, aku tidak putus asa. Aku tetap menjalani pekerjaanku seperti biasa.
Dan aku tetap menulis apa saja. Dan ketika ku buka lagi cerpenku yang berjudul lelaki tanpa cinta yang belum jadi. Ku coba tuk menyelesaikannya. Awalnya ku kebingungan bagaimana mengakhiri ceritanya yang terasa datar. Namun akhirnya ku mampu menyelesaikannya. Dengan paragraf terakhir seperti ini: Lelaki tanpa cinta. Tlah berjanji dalam hatinya. Tuk tetap mengosongkan ruang hatinya. Tuk selamanya. Meski lima tahun berikutnya, ia mengkhianati janjinya. Ia menikah dan tlah mempunyai anak()

khalil gibran*